Laman

Wednesday, 7 December 2011

Artikel Siswa SMA 1 KEDUNGWUNI


EUFORIA SEPAK BOLA
PEMBANGKIT NASIONALISME PEMUDA INDONESIA



ARTIKEL


Disusun Oleh:

Nama
:
Arif Rahman Hakim (5658)
Sekolah
:
SMA Negeri 1 Kedungwuni
Alamat
:
Jalan Paesan Utara Kedungwuni
Kabupaten  Pekalongan
Pembimbing
:
Kusmugowaluyo, S.Pd, M.Pd



PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH
DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN PEKALONGAN
SMA NEGERI 1 KEDUNGWUNI
TAHUN 2011
I.          PENDAHULUAN
Nasionalisme merupakan satu dari beberapa faktor yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia. Melalui nasionalisme warga negara Indonesia dapat bersatu dan melalui nasionalisme pula bangsa Indonesia dapat terlepas dari belenggu kolonial.
Cinta tanah air termasuk bagian dari nasionalisme. Perwujudan rasa cinta tanah air dapat dinyatakan dalam segala macam aspek kehidupan termasuk didalamnya adalah memberikan dukungan untuk Timnas Indonesia ketika bertanding di atas rumput hijau melawan negara lain dari seluruh penjuru dunia.
Menurut pengamatan penulis, akhir-akhir ini rakyat Indonesia sedang ramai berbicara mengenai bola, begitu pula tentang kabar terbaru tentang Timnas Garuda. Bukan hanya para pecinta bola saja yang melakukan hal tersebut, melainkan mereka yang tidak suka bola pun ikut-ikutan sekadar menonton saat Timnas Garuda bertanding. Bahkan banyak dari mereka yang akhirnya ikut melangkahkan kakinya untuk menonton pertandingan di lapangan Gelora Bung Karno padahal sama sekali mereka tidak menyukai olah raga yang satu ini. Lalu mengapa rakyat negeri ini seolah begitu cinta dengan bola?
Ternyata jawabannya adalah rasa cinta mereka terhadap Timnas yang sedang berjuang untuk bisa membanggakan bangsa Indonesia. Mereka melakukan itu semua karena rasa nasionalisme mereka tersentuh. Mereka sedang menunjukkan kecintaannya pada negeri tercinta. Namun satu hal yang berlawanan menurut pengamatan penulis yaitu rasa nasionalisme di kalangan pemuda Indonesia dalam wujud cinta tanah air itu sering padam menyala seperti api unggun, kadang meredup ketika Timnas yang didukung kalah dan menyala di kala Timnas tersebut menang.
Berdasarkan deskripsi yang telah dikemukakan, penulis tergugah untuk membuat suatu artikel dengan judul “Euforia Sepak Bola Pembangkit Nasionalisme Pemuda Indonesia”. Adapun tujuan penulisan ini adalah ingin menelusuri apakah dengan euforia sepak bola rasa nasionalisme pemuda bangsa Indonesia di era kekinian masih ada. Kedua, apakah dengan euforia sepak bola mampu membangkitkan nasionalisme pemuda Indonesia, dan yang ketiga kegiatan apa saja yang dapat menumbuhkan rasa nasionalisme pemuda Indonesia di masa kini.
Salah satu manfaat penulisan ini antara lain memberikan informasi mengenai hubungan antara sepak bola dan nasionalisme sehingga pandangan masyarakat yang selama ini menganggap sepak bola hanya sekadar sebagai olah raga biasa dapat berubah, mengingat dalam kenyataannya olah raga yang satu ini juga dapat meningkatkan rasa nasionalisme.

II.      PEMBAHASAN
Setelah tontonan spektakuler World Cup usai pertengahan Juli tahun lalu, akhir 2010 jutaan mata di Indonesia kembali tertuju ke benda bulat yang bernama bola. Masyarakat Indonesia berbondong-bondong menuju Gelora Bung Karno (GBK) untuk menyaksikan pertandingan sepak bola di mana Tim Nasional sebagai salah satu kesebelasan yang ikut bertanding. Mereka rela menghabiskan waktu berjam-jam dengan mendapatkan selembar tiket masuk.                                                     Bedanya, jika piala dunia kemarin masyarakat Indonesia menjagokan pilihan masing-masing kepada negara kelas kakap dalam percaturan sepak bola sejagad, kali ini tidak. Kali ini, dukungan masyarakat Indonesia terhimpun dalam satu suara yang sama sebab tim yang berlaga atraktif dan mempesona adalah kesebelasan Timnas Indonesia sendiri.
Dalam kesempatan itu simbol Garuda Pancasila yang dikumandangkan melalui lagu Garuda di Dadaku membahana di setiap sudut kota. Anak-anak usia Sekolah Dasar pun ceria sembari berlari menendangkan lagu ini. Maklum, masyarakat Indonesia dari segala umur dapat dibilang mendadak demam bola sejak kemenangan berturut-turut mulai dari babak penyisihan Asia Football Federation (AFF). Berawal dari kemenangan besar 5-1 atas Malaysia, membantai Laos 6-0, menundukkan Thailand 2-1, dan mempermalukan Filipina 2-0 dalam dua babak semifinal. Tentu saja sebagian penonton kesebelasan Timnas baik langsung menyaksikan di GBK maupun melalui stasiun televisi di rumah merupakan penggemar atau penggila bola. Namun, penonton tetaplah penonton. Tak perlu dibedakan antara mereka yang memang gila bola maupun yang tidak.
Lantas, adakah yang perlu dibedakan? Nasionalismelah yang perlu di bedakan. Barangkali tidak sedikit orang yang mungkin awalnya tidak begitu tertarik terhadap sepak bola, akan tetapi ketika pemain lapangan hijau adalah kontingen Indonesia sendiri yang sedang melawan negara lain, maka saat itulah fanatisme dan kegemaran menyaksikan permainan lapangan hijau itu tumbuh.
Fenomena ini secara tidak langsung mencerminkan masih hidupnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia di era kekinian. Masyarakat Indonesia tidak akan pernah rela jika rasa kebangsaannya diusik dan diganggu. Masyarakat Indonesia juga tidak ingin darah dan harga diri bangsa ini tercecer berjatuhan, apalagi ‘direndahkan’ oleh bangsa lain.
Sepak bola memang bukanlah permainan yang diperuntukkan untuk menjatuhkan negara tertentu. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa dari sepak bola pulalah, harga dan martabat bangsa akan semakin tinggi. Tak ayal, olah raga ini bisa dikategorikan sebagai salah satu piranti membangun masa depan bangsa.
Sekadar contoh, Brazil yang merupakan negara terbesar kelima terpadat penduduknya setelah Rusia, Canada, Republik Rakyat Cina, dan Amerika Serikat Brazil sebenarnya sangat istimewa. Tetapi, apakah lantas negara seluas 8.511.965 kilometer persegi itu puas dengan hal tersebut? Tentu saja tidak. Popularitas Brazil di pentas internasional tidak dibangun karena faktor luas wilayah, tetapi karena kualitas persepak bolaannya. Barangkali jika bertanya kepada orang-orang di belahan bumi ini dengan pertanyaan semisal, “Apa yang anda ketahui tentang Brazil?” Jawabannya menurut hemat penulis tidak akan jauh dari, “Brazil adalah negara hebat dalam sepak bola”.
Dengan jawaban ini, masyarakat dunia memahami bahwa Brazil sebenarnya bukanlah negara sempurna sebagaimana kualitas sepak bola mereka. Tetapi, justru ketidaksempurnaan itu mereka tutupi dengan kualitas olah raga yang memiliki peminat terbesar. Inilah fenomena sepak bola yang mampu menjadi jembatan nasionalisme. Walaupun jenis olah raga lainnya seperti tinju, bulu tangkis, dan sebagainya juga dapat menjadi alat mempertaruhkan jati diri bangsa, namun tidaklah sehebat sepak bola.
Rasa nasionalisme masyarakat Indonesia tidak perlu diragukan akan luntur, justru ia sepatutnya mendapatkan pujian dan apresiasi terutama ketika mengambil variabel sepak bola sebagai instrumen penilaiannya. Tentu saja pikiran kita akan berdebar-debar dalam beberapa hari selanjutnya saat final AFF antara Indonesia dan Malaysia. Tentulah masyarakat Indonesia menginginkan agar  Timnas keluar sebagai juara. Keinginan itu semakin menggema dengan dinyanyikannya lagu-lagu simbol nasionalisme seperti 'Garuda di Dadaku' di semua sudut di bumi persada. Akan tetapi sekadar menyanyikan lagu pada prinsipnya tidak cukup menerjemahkan nasionalisme yang sebenarnya. Sebab nasionalisme sejatinya bukan hanya perkataan ataupun ungkapan melalui lisan, tetapi lebih kepada menyeruak masuk menjadi perasaan hati. Dengan kata lain, perwujudan nasionalisme tentu harus menyentuh ke relung-relung hati masyarakat Indonesia, sehingga untuk menodai negeri ini dengan berbagai tindakan tidak akan mungkin terjadi.
Sementara itu, penulis menilai bahwa masih terjadi salah kaprah dan inkonsistensi rasa nasionalisme di negeri ini. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya masyarakat Indonesia yang mengungkapkan kecintaan dan dukungan terhadap Timnas, namun di sisi lain ia menodai negeri ini, misalnya dengan tindak korupsi.
Wacana nasionalisme menjadi usang ketika memerhatikan masalah korupsi. Betapa tidak, korupsi sudah begitu terkoordinasi dan terstruktur. Bahkan tak tanggung-tanggung, The Straits Times, salah satu koran terkemuka di Singapura, pernah sekali memberitakan bahwa Indonesia sebagai The Envelope Country (negara amplop).  Belum lagi kasus skandal hukum, mafia pajak, dan isu suap yang lagi menggerogoti penegak hukum bangsa Indonesia. Jika mengingat hal itu, wacana nasionalisme sepak bola menjadi tergadaikan. Namun, apa boleh dikata, nasi sepertinya telah menjadi bubur. Keinginan membumihanguskan skandal korupsi tampaknya hanya menjadi sekadar keinginan semata, tak pernah ada realisasi. Sehingga kita seperti kehilangan harapan menegakkan nasionalisme secara universal. Kendati demikian, kita masih memiliki harapan bahwa tumbuhnya rasa nasionalisme secara universal nantinya bisa hadir dari tontonan sepak bola ini.
Ketika Penulis menanyakan perihal alasan mengapa muda-mudi (yang dalam hal ini adalah siswa SMA 1 Kedungwuni sebagai sample-nya) rela untuk begadang semalaman demi mendukung Timnas Indonesia, kebanyakan dari mereka memberikan jawaban yang sama yaitu menyadari bahwa mereka semua adalah orang Indonesia, mereka tidak bisa menyumbang banyak untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia dan mungkin hanya itulah yang dapat mereka persembahkan ketika diselenggarakannya event empat tahunan tersebut. Pertanyaan lain yang penulis kemukakan adalah apakah benar jika menonton Timnas saat bertanding baik secara langsung maupun tidak langsung itu merupakan bagian dari nasionalisme, kembali mereka menjawab dengan suara yang sama yaitu “benar”, lalu mereka menambahkan alasan bahwa jiwa nasionalisme itu dapat diwujudkan tidak hanya pada saat membela negara ini secara langsung, tetapi melalui do’a dan dukungan untuk mereka yang bertanding saja itu sudah cukup untuk dapat di katakan sebagai bentuk nasionalisme.
Dari beberapa pernyataan dan kenyataan, dapat penulis sampaikan bahwa rasa nasionalisme di kalangan muda-mudi Indonesia itu masih ada dan mencapai titik puncaknya yaitu pada saat diselenggarakannya event-event pertandingan olah raga yang dalam hal ini adalah sepak bola. Analisa penulis disini diperkuat dengan keluarnya hasil survey yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI) beberapa bulan setelah event tersebut selesai. Hasil yang dikemukakan oleh LSI sangat mengejutkan bagi masyarakat Indonesia karena menyebutkan bahwa sebanyak 92,1% publik Indonesia merasa bangga menjadi orang Indonesia. Nasionalisme ini pun diikutsertakan dengan kesediaan untuk turun berperang membela negara yang mencapai 63,1%. Bukankah ini merupakan sesuatu yang mengejutkan? Rasa Nasionalisme bangsa Indonesia ini bahkan mengalahkan negara-negara lain di Asia Tenggara dalam keinginan untuk membela negara masing-masing seperti Malaysia (79,3%), Filipina (87,4%), Singapura (86,6%), dan Thailand (89,9%). Dengan demikian nyatalah, betapa besar peranan olah raga sepak bola ini dalam membangkitkan rasa nasionalisme pemuda Indonesia.


III.   PENUTUP
a.        Simpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa rasa nasionalisme pemuda Indonesia di era kekinian masih ada. Salah satu bukti adalah masih adanya rasa semangat pada diri mereka untuk memberikan dukungan kepada Timnas Indonesia ketika bertanding untuk mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Dari hasil kajian, ternyata euforia sepak bola merupakan salah satu kegiatan yang mampu menumbuhkan rasa nasionalisme para pemuda Indonesia. Hal ini didasarkan pada sumber dari LSI yang menyebutkan bahwa rasa nasionalisme bangsa Indonesia mencapai 92,1% hingga dapat mengalahkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara dalam hal keinginan untuk membela negara masing-masing setelah terselenggaranya event empat tahunan piala AFF tahun 2010 lalu.
Ada banyak kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa nasionalisme bangsa, salah satunya adalah melalui sepak bola. Dengan kata lain sepak bola yang didalamnya terkandung unsur euforia ternyata dapat mempersatukan masyarakat Indonesia dari berbagai unsur, kalangan, golongan, suku, bahkan agama. Mereka semua tidak mempersoalkan mengenai perbedaan tersebut.

b.   Saran
Melalui tulisan ini, penulis berharap agar masyarakat Indonesia mampu menyadari bahwa dibalik gegap gempita sepak bola ternyata terkandung sebuah unsur yang dapat mempersatukan mereka hingga muncul satu suara yang sama yaitu “In-do-ne-sia”. Hal tersebut dikarenakan rasa nasionalisme yang muncul tanpa masyarakat sadari sebelumnya.





DAFTAR PUSTAKA

Hasnun, Anwar. 2009. Pedoman dan Petunjuk Praktis Penulisan Karya Tulis. Yogyakarta: Absolut.


























BIODATA PENULIS

Nama
:
Arif Rahman Hakim (5658)
Tempat Tanggal Lahir
:
Pekalongan, 13 November 1995
Kelas
:
XI IPA 2
Sekolah
:
SMA 1 Kedungwuni Kabupaten Pekalongan
Alamat Sekolah
:
Jalan Paesan Utara Kedungwuni Kab. Pekalongan Kode Pos 51173
No. Telp. Sekolah
:
(0285) 785434
No. HP Peserta
:
081542368651
E-mail Sekolah
:
E-mail Peserta
:



No comments:

Post a Comment